-->

Entri yang Diunggulkan

KURIKULUM MERDEKA- Mengapa Kurikulum Perlu Berubah?

Tak terasa di pertengahan tahun 2024, Kurukulum Merdeka akan menjadi Kurikulum Nasional loo. Pemahaman Kurikulum Merdeka tidak hanya berputa...

ZERO

-Start-

Aku ingin tahu apa yang dirasakan hujan ketika jatuh. Apakah merasakan sakit yang teramat sangat? ataukah memang ini yang Ia harapkan. Katanya Ia merupakan Rahmat dari Sang Kuasa. Namun banyak dari Manusia yang kadang memuja lalu kemudian mengutuk dengan berbagai alasan. Aku ingin tahu, apakah hujan juga menyadarinya?. Ketika hujan semakin lebat seperti ini, apakah Aku akan mengutuk juga?. Di balik jendela yang tertutup rapat, hujan tetap jatuh. Dan siapa yang berani menghalanginya?. 


Tak ada. Kata itu menggema dalam tempurung kepala. Berdenyut di setiap saraf bahkan saat memejamkan mata, kemudian kembali menggema. 

Tak ada. Sama seperti mengais dalam memori yang berkarat. Sesungguhnya dari dulu memang tidak ada. 

Namun, Aku ingat dalam memori tersembunyi ketika Anak itu pernah meringkuk dalam gelap. Mencoba menekan kedua telinga saat amarah saling bersahutan. Ketika dua orang saling memaki. 

'Nunna, sedang apa?' Adiknya bertanya namun Anak itu hanya diam. Kemudian Aku melihat matanya yang seketika memerah dan air mata mengalir sederas hujan. Sejak saat itu, Anak tersebut membenci keributan. Ketika hening, Ia akan menarik secarik kertas kemudian membuat bangau kertas yang Ia pelajari dari teman sekelasnya. Dua bangau kertas terbentuk dari tangan mungilnya. Saat itu, Ia melipat dengan bahagia dan membawanya diatas jembatan dengan air yang mengalir tenang. Menerbangkan dua bangau dan melihat Mereka hanyut terbawa arus. Anak itu hanya berharap semua yang di lalui cepat berakhir. Karena baginya hidup seperti drama. Namun, drama terus beradegan tanpa sebuah akhir. 

Tak ada. Waktu telah lama berlalu. Dan Aku masih ingat ketika Anak itu tidak memiliki apapun. Tidak, karna sesungguhnya Dia tidak diperbolehkan menginginkan apapun. Dan sepanjang Ia tumbuh, keinginan-keinginan itu berkarat didasar hatinya. Tidak ada seorangpun yang tahu. Namun diam-diam Ia membuat cangkang. Dalam celah sempit, Ia memperhatikan bagaimana dunia bekerja. 

Tak ada. Mungkin ini kali pertama Anak itu berbohong. Ketika gelagatnya seakan ingin menolak, sesungguhnya hatinya dengan senang hati menerima. Bantuan itu seperti hawa dingin sebelum hujan datang. Menyejukkan jiwanya. Dan untuk pertama kalinya Ia ingin menjadi pemeran utama dalam drama dunia. Karna Tuhan mungkin akan mengabulkan semua keinginannya, seperti akhir pemeran utama. Bahagia. 

Tak ada. Sesungguhnya Anak itu selalu ingat rasa manis itu. Ketika Ia hanya menggenggam sebuah bungkusan permen itu. Sejak awal, itu tidak benar-benar kosong. Ada harapan dan tujuan yang ingin dicapai. Namun Anak itu tahu bahwa dunia yang Ia tempati beradegan lagi. Memaksanya berlari. Memungut tanah liat lagi. Dan cangkang yang dibangunnya bertambah tebal lagi. Ketika bungkus permen itu jatuh, Anak itu tak pernah menyesal. Bahkan jika sedetik, bahkan sedetipun Ia tidak pernah menyesal.  Karena saat itu, Ia sangat bahagia. 

Tak ada. Anak itu benar-benar tidak memiliki apapun pada akhirnya. Mencoba untuk tidak menginginkan apapun. Bahkan ketika Aku tahu Dia benci hujan. Ia hanya berdiri diam memperhatikan. Kemudian yang Aku ingat hanya sepasang mata penuh kaca. 
"Kenangan itu milikku" katanya sambil menggenggam tetesan hujan. 
"Namun rasa sedih yang turun juga mengahancurkanku" bisiknya sambil memenjamkan mata. 
"Seharusnya Kamu tidak melihat mataku" kata Anak itu dalam deras hujan. 

Pada akhirnya, Aku tidak pernah lupa pada mata itu. Seolah itu benar-benar milikku. Kegagalan-kegagalan yang tak terhitung jumlahnya. Jatuh dan merangkak seakan tidak ada bedanya. Pada setiap hujan yang turun, adegan itu  terus berputar tanpa diminta.
-End-

Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/19351473385554990/

0 Response to "ZERO "

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel